Kemenkes: Kasus TBC Sepanjang 2022 Paling Banyak Dialami Buruh dan Petani
Waspadai TBC. Foto: Studio.51/Shutterstock
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Imran Pambudi, mengungkap data jumlah kasus TBC pada 2022 paling banyak dialami oleh buruh dan petani.
Untuk TBC sensitif obat berdasarkan jenis pekerjaan paling banyak dialami oleh buruh sebanyak 54.800 orang, disusul petani dengan 51.900 orang dan wiraswasta 44.200 orang.
Sementara untuk jumlah kasus TBC resisten obat berdasarkan jenis pekerjaan paling banyak ada di wiraswasta 751 orang, buruh 635 orang, dan pegawai swasta BUMN atau BUMD 564 orang.
Imran mengatakan, angka keberhasilan pengobatan TBC sensitif obat di Indonesia pada tahun 2022 sebanyak 85%, paling tinggi ada pada tenaga profesional medis 79%, tenaga profesional non medis 78%, PNS 73%, kemudian disusul dengan yang lain.
Waspadai TBC. Foto: Doucefleur/Shutterstock
Sementara angka keberhasilan pengobatan TBC resisten obat di Indonesia tahun 2022 secara umum keberhasilannya 55%. Dari angka tersebut yang paling tinggi adalah tenaga profesional medis 75%, tenaga profesional non medis 67%, guru atau dosen 66%, diikuti profesi yang lainnya.
“Edukasi itu sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TBC karena pengobatannya lama. Kalau TB SO itu 6 bulan minimal, kalau TB RO itu minimal 1 tahun,” ujar dr. Imran pada konferensi pers hari TBC Sedunia 2023, Jumat (17/3), secara virtual.
Dia mengatakan, berdasarkan Global TB Report tahun 2022 jumlah kasus TBC terbanyak pada kelompok usia produktif terutama pada usia 25 sampai 34 tahun.
Di Indonesia jumlah kasus TBC terbanyak yaitu pada kelompok usia produktif terutama pada usia 45 sampai 54 tahun.
Sementara, berdasarkan data kependudukan BPS 2022 lebih dari 80% pekerja informal tidak mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan. Menurut Imran, ini jadi tantangan bersama bagaimana membuat mereka mempunyai akses yang baik.
Dalam Strategi Nasional Eliminasi TBC yang tertuang pada Perpres nomor 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis ada sejumlah strategi mengatasi TBC di Indonesia.
Mulai dari penguatan komitmen, peningkatan akses layanan TBC, optimalisasi upaya promosi dan pencegahan TBC, pengobatan TBC dan pengendalian infeksi, kemudian pemanfaatan hasil riset dan teknologi.
Ilustrasi pekerja asing. Foto: Shutter Stock
Upaya Penanggulangan TBC
Terkait banyaknya buruh yang terkena TBC, Direktorat Bina Pengujian Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Maptuha, menjelaskan pihaknya menyusun Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 13 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Tuberkulosis di Tempat Kerja.
Sasaran dari pelaksanaan Permenaker ini adalah pengusaha dan pengurus perusahaan, dokter perusahaan, pekerja atau buruh, dan bagi pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pengawasan pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis di tempat kerja.
“Upaya yang telah dilakukan Kemenaker dalam rangka penanggulangan TBC di tempat kerja adalah pada Tahun 2022 kami melakukan identifikasi risiko tinggi tuberkulosis di tempat kerja menggunakan formulir screening di 6 wilayah yaitu Jawa Tengah 1050 pekerja, Jawa Barat 2.719 pekerja, DKI Jakarta 100 pekerja, Jawa Timur 327 pekerja, Sumatera Utara 150 pekerja, dan Banten 409 pekerja,” ucapnya.
Selanjutnya, sosialisasi pencegahan pengendalian kasus TBC di tempat kerja dilakukan di 5 wilayah yaitu Banten, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah.
Maptuha menambahkan, rencana kegiatan penanggulangan tuberkulosis tahun 2023 yaitu sosialisasi penanggulangan TBC di tempat kerja sebanyak 500 orang pada 3 wilayah, dan screening TBC kepada pekerja di 18 wilayah.
Perwakilan dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Prof dr. Dwi Sutanto mengatakan hampir semua organ tubuh manusia bisa terkena TBC, tetapi yang paling sering adalah paru-paru.
Beberapa kondisi yang meningkatkan risiko infeksi TBC adalah penyakit yang memperburuk imunitas tubuh seperti HIV/ AIDS, diabetes, gangguan gizi, gagal ginjal, alkohol, perokok.
“Pekerja berisiko karena faktor risiko bekerja bisa karena usia masa kerja dan pajanan bahan di tempat kerja. Beberapa pajanan bahan di tempat kerja itu menyebabkan kondisi dan daya tahan tubuh di paru-paru menurun, contohnya seperti silika dan bahan-bahan toxic lainnya yang terhirup itu dapat merusak sistem pertahanan paru. Akibatnya kalau kena infeksi TBC paru-paru lebih rentan terinfeksi,” tutur Prof. Dwi dalam kesempatan yang sama.
Ventilasi di tempat kerja kurang baik, pencegahan infeksi di tempat kerja yang tidak berjalan, dan APD yang tidak digunakan optimal sampai kebiasaan merokok akan berisiko tinggi terinfeksi TBC.
Gejala seseorang terinfeksi TBC adalah batuk-batuk berdahak, batuk berdarah, sesak napas, lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari, dan demam meriang.
“Tujuan pengobatan TBC adalah untuk menyembuhkan. Jadi kalau sudah ada yang terkena TBC wajib diobati supaya tidak menular kepada orang lain, produktivitas dan kualitas hidupnya menjadi lebih bagus, terutama bagi pekerja,” ungkap Dwi.
Comments are closed.