Benang Kusut Tradisi Baju Baru Lebaran

Pengunjung mencari baju lebaran di pasar tradisional Citra Niaga Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Jumat (22/5/2020). Foto: ANTARA FOTO/Syaiful Arif

Tradisi baju baru lebaran menyebabkan tekanan sosial. Membeli baju baru jelang Idulfitri telah menjadi suatu kebiasaan yang mendarah-daging dalam budaya Indonesia, terutama bagi mereka yang beragama Islam.

Kebiasaan ini dipercayai sebagai simbol kebahagiaan dan kemenangan setelah menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh. Meski demikian, perlu diakui bahwa kebiasaan ini juga menimbulkan tekanan sosial bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang kurang mampu secara finansial.

Beberapa poin terkait tekanan sosial yang timbul dari tradisi membeli baju baru menjelang lebaran.

Ilustrasi baju Lebaran. Foto: Shutter Stock

Tekanan untuk menunjukkan status sosial: Banyak orang yang merasa harus membeli baju baru dan merk yang mahal untuk menunjukkan status sosial mereka kepada keluarga dan teman-teman.

Tekanan untuk menyesuaikan dengan tren fashion terbaru: Beberapa orang merasa tertekan untuk membeli baju baru yang sesuai dengan tren fashion terbaru, meskipun baju yang mereka miliki masih layak dan tidak usang.

Tekanan untuk tampil sempurna: Sebagian orang merasa harus tampil sempurna di hadapan keluarga dan teman-teman pada saat Lebaran, sehingga mereka merasa harus memiliki baju baru untuk menunjang penampilan mereka.

Tekanan dari lingkungan sekitar: Lingkungan sekitar, seperti tetangga dan kerabat, juga bisa memberikan tekanan untuk membeli baju baru pada saat Lebaran, karena dianggap sebagai tradisi yang wajib dilakukan.

Dampak finansial: Tekanan sosial untuk membeli baju baru pada saat Lebaran dapat berdampak pada kondisi keuangan seseorang, terutama bagi mereka yang kurang mampu atau mengalami kesulitan finansial, yang akhirnya terpaksa mengeluarkan uang lebih hanya untuk membeli baju baru.

Ilustrasi baju Lebaran. Foto: Shutter Stock

Di satu sisi, memakai baju baru pada saat Idulfitri dianggap sebagai suatu keharusan. Bagi sebagian masyarakat, merupakan cara untuk memamerkan kesuksesan dan kemampuan finansial mereka.

Dalam masyarakat yang kompetitif, di mana seseorang seringkali dinilai dari penampilannya, memakai baju baru pada saat Idulfitri menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari.

Di sisi lain, ada masyarakat yang merasa tertekan dan tidak mampu membeli baju baru pada saat Idulfitri. Mereka merasa tidak bisa bersaing dengan orang lain dan seringkali merasa rendah diri karena tidak bisa membeli baju baru. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan sosial di dalam masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari kita semua.

Sebagai masyarakat yang hidup di lingkungan sosial, kita harus berusaha untuk mengubah pandangan bahwa memakai baju baru pada saat lebaran Idulfitri merupakan suatu keharusan atau tanda kesuksesan dalam hidup.

Calon pembeli memilih baju di pusat penjualan pakaian di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (15/5/2020). Foto: ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Kita perlu mengedukasi diri sendiri dan orang lain bahwa kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup tidak ditentukan oleh baju baru yang kita pakai, melainkan nilai-nilai yang kita anut dan kita amalkan.

Dalam hal ini, kita harus mengajarkan nilai-nilai seperti empati, kepedulian, dan persaudaraan, yang merupakan inti dari ajaran agama Islam itu sendiri. Kita harus memandang kebiasaan membeli baju baru pada saat Idulfitri sebagai sebuah tradisi yang dapat diubah, agar tidak lagi menimbulkan tekanan sosial bagi mereka yang kurang mampu.

Sebaliknya, tradisi ini dapat menjadi sarana untuk menunjukkan solidaritas dan kepedulian kita sebagai umat manusia yang saling membutuhkan.

Comments are closed.
Generated by Feedzy